Sesuai dengan pertambahan usia harapan hidup penduduk dunia, proporsi penderita lanjut usia (lansia) makin bertambah yang secara farmakologi merupakan kelompok khusus dan mempunyai problema tersendiri dalam pemberian obat-obatan. Lansia sendiri untuk kebanyakan obat merupakan faktor risiko mudahnya timbul efek samping (Lelo, 1998). Sebagai akibat semakin bertambahnya keluhan dan ragam penyakit maka terapi polifarmasi makin bertambah pada penderita lansia. Penggunaan beberapa macam obat akan meningkatkan risiko interaksi obat yang merugikan dan reaksi ikutan obat yang berbahaya. Cooper (1999) juga mendata faktor yang paling nyata menjadi penyebab penderita lansia dirawat inap akibat obat, ternyata jumlah obat yang digunakan merupakan faktor yang menentukan. Mereka yang dirawat inap akibat reaksi sampingan obat (7.9 +/- 2.6 item) menggunakan ragam obat yang lebih banyak daripada mereka yang dirawat inap bukan karena reaksi sampingan obat (3.3 +/- 1.3 item). Penderita lansia menggunakan obat-obatan yang diresepkan tiga kali lebih banyak dari penderita dewasa muda sebagai akibat makin meningkatnya kejadian penyakit kronis (Chrischilles dkk, 1992).
Setiap jenis obat yang digunakan pada penderita lansia harus mempertimbangan secara khusus perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat karena pertambahan usia, dimana masa kerja obat menjadi lebih lama sebagai akibat eliminasi obat makin lambat (Greenblatt dkk, 1982). Perubahan farmakokinetik lain yang cukup menonjol adalah dalam hal ikatan protein dan metabolisme obat sebagai akibat makin berkurangnya masa hati, aliran darah hati dan aktivitas enzim. Penurunan protein plasma akan berakibat meningkatnya kadar obat bentuk bebas, terutama analgetik AINS. Cooper (1999) mendata kejadian merugikan akibat obat sehingga penderita lansia harus dirawat inap. Obat yang paling banyak sebagai penyebab adalah obat anti-inflamasi non-steroid (AINS), psikotropika, kardiotonika digoxin dan antidiabetika insulin.
Nyeri muskuloskeletal pada lansia
Kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia manusia. Nyeri pada lansia sangat berbeda dengan yang dijumpai pada dewasa muda. Banyak penderita lansia memiliki lebih dari satu macam penyebab nyeri. Penyebab nyeri yang paling sering pada lansia adalah arthritis (termasuk nyeri punggung bawah), polimialgia, Paget’s disease, neuropati, penyakit pembuluh darah perifer dan jantung serta proses keganasan. Oleh karena itu tujuan utama dalam penanggulangan nyeri pada lansia adalah (Davis dan Srivastava, 2003).:
• Meredakan nyeri
• Mengoptimalkan aktifitas harian
• Mendapatkan dosis terendah dari obat yang digunakan
Oleh karena itu prinsip dasar pendekatan farmakologi dalam penggunaan analgetika pada lansia adalah mulai dengan dosis rendah dan bila diperlukan secara perlahan-lahan dosis ditingkatkan. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiate dan non-opiat terhadap penderita dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Selain itu, pemilihan analgetika yang tepat juga dipengaruhi oleh kepatuhan penderita, polifarmasi, keparahan dan jenis nyeri, ketersediaan obat, keluhan dan gejala yang menyertai dan harga (Davis dan Srivastava, 2003). Opiate merupakan analgetik sentral menghambat transduksi syaraf didalam medulla spinalis. Sedangkan analgetik non-opiat merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Masing-masing analgetik memberikan efek samping tertentu, dengan menggabungkan beberapa jenis analgetik dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat, seperti pada nyeri kanker (Ladner dkk, 2000).
Fakta yang ada menunjukkan bahwa AINS berkhasiat sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. Sediaan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan. Tiap sediaan OAINS akan memberikan efek analgetik anti-inflamasi yang sepadan apabila digunakan dosis yang sepadan pula (Simon & Strand, 1997). Namun ada kalanya dibutuhkan kombinasi parasetamol dengan AINS untuk meningkatkan khasiat analgetiknya. Pada kenyataannya tidak semua penambahan AINS dapat meningkatkan khasiat analgetik parasetamol. Breivik dkk (1999) mendemonstrasikan bahwa khasiat analgetika parasetamol akan makin meningkat bila ditambahkan OAINS diclofenac dan/atau kodein. Pickering dkk (2002) membandingkan efek sinergis ini pada anak-anak yang mengalami tonsilektomi dan mendapatkan bahwa penambahan COX-2 inhibitor spesifik rofecoxib tidak meningkatkan khasiat analgetik parasetamol, berbeda dengan penambahan AINS klasik ibuprofen.
Nyeri muskuloskeletal dapat juga terjadi bukan sebagai akibat reaksi inflamasi. Satu sampai dua bulan setelah penggunaan antihiperlipidemia statin dapat terjadi gangguan muskuloskeletal berupa nyeri otot, nyeri sendi, kelemahan otot dan sebagainya. Statin menghambat enzim HMG CoA reductase sehingga cholesterol tidak terbentuk yang pada gilirannya akan diikuti dengan gangguan hormon dan fungsi sel-sel tubuh. Dalam penanggulangannya yang terbaik adalah dengan penghentian sediaan statin (Chazerain dkk, 2001).
Problema penggunaan AINS pada lansia
Meskipun AINS kelihatannya menjadi analgetika yang selalu digunakan pada lansia, bukan berarti sediaan ini aman bagi pemakai. Nyeri pada lansia selalu berlangsung kronis, menuntut untuk memberikan AINS jangka lama. Timbulnya efek samping AINS yang tak berterima selalu menjadi penyebab untuk tidak meneruskan penggunaan AINS. Lansia sendiri sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS. Tambahan lagi, Tamblyn dkk (1997) menemukan sekitar 35% penderita mendapat resep AINS yang tidak diperlukan.
Problema penggunaan AINS pada lansia antara lain adalah:
• Efek samping AINS
• AINS sebagai sediaan penyebab kaskade peresepan
• AINS memberikan interaksi yang tak menguntungkan dengan obat lain
Efek samping AINS
Mekanisme kerja utama sediaan ini diperkirakan berkaitan dengan hambatan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin disintesis oleh dua enzim siklooksigenase (Cyclooxygenase, COX), yaitu COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang disintesis melalui jalur COX-1 dipercayai berperan dalam proses sistem keseimbangan tubuh, sedangkan yang disintesis melalui jalur COX-2 dipercayai terlibat dalam proses inflamasi. Prostaglandin merupakan sediaan pro-inflmasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotector. Oleh karena analgetika penghambat COX-2 diyakini tidak menghambat aktifitas isoenzim COX-1, maka sediaan ini diduga bebas dari berbagai efek samping yang menakutkan. Kejadian perdarahan saluran makanan bagian atas meningkat 2 – 6 kali lipat akibat penggunaan AINS oleh lansia, teristimewa perempuan (Johnson dan Day, 1991).
Russell (1999) mengkaji factor risiko terjadinya efek samping gastrointestinal (dyspepsia, erosi, ulserasi, perdarahan atau perforasi) akibat AINS dan menemukan bahwa kejadian efek samping AINS pada saluran cerna makin meningkat apabila AINS:
• Diberikan pada lansia (usia > 60 tahun; RR 5.52) daripada dewasa muda (usia < 60 tahun; RR 1.65),
• Diberikan pada mereka dengan riwayat tukak peptic (RR 2,39), dan makin meningkat kejadian berikutnya (RR 4,76)
• Digabungkan dengan kortikosteroid (RR 14,6)
• Diberikan pada mereka yang sedang menggunakan dosis kecil asetosal
Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan, AINS yang memberikan risiko paling tinggi adalah azapropazone, ketoprofen dan piroxicam, dan yang memberikan risiko paling rendah adalah ibuprofen, diclofenac and etodolac (Russell, 1999). Tingkat keparahan efek toksik AINS pada saluran cerna berbeda diantara sediaan. AINS dengan waktu paruh panjang lebih toksik pada lansia. Berdasarkan hilangnya darah yang terpantau melalui tinja, Scharf dkk (1998) berkesimpulan bahwa AINS dengan waktu paruh pendek (diclofenac) dapat dikaitkan dengan toksisitas saluran cerna yang rendah dibandingkan dengan AINS dengan waktu paruh menengah (naproxen) dan panjang (piroxicam) (Scharf dkk, 1998).
Sementara farmakokinetik diclofenac kelihatannya tidak dipengaruhi oleh usia, gangguan faal ginjal dan kronisitas pemberian obat (Kendall dkk, 1979). AINS meloxicam (Turck dkk, 1996) dan nimesulide (Olive & Rey,1993) menunjukkan hal yang sama, dimana tidak banyak perbedaan farmakokinetik ke dua sediaan ini dengan pertambahan usia sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada lansia. Davies dkk (2000) menyatakan farmakokinetik celecoxib berbeda antara dewasa muda dan lansia, dimana dijumpai penurunan bersihan pada lansia.
Perubahan farmakokinetik AINS akibat pertambahan usia, mengharuskan pengurangan dosis AINS pada lansia yang sehat. Sementara bila penderita lansia mengalami penurunan faal ginjal dosis AINS diflunisal, indomethacin, sulindac dan asam mefenamat harus dikurangi. Karena eliminasi obat lebih lambat pada lansia, maka hindari penggunaan AINS dengan waktu paruh panjang, sebagai gantinya berikan sediaan dengan waktu paruh singkat yang pada dewasa muda digunakan 3 kali sehari, sedangkan pada lansia cukup digunakan sekali atau dua kali sehari (Lelo, 1998).
AINS yang lebih selektiv menghambat COX-2 diperkirakan akan memberikan kejadian efek samping pada saluran cerna yang lebih rendah, paling tidak untuk waktu penggunaan yang singkat. Berdasarkan farmakodinamik AINS maka dapat diperkirakan bahwa sediaan AINS mampu mengganggu sistem kardiovaskular dalam bentuk perburukan klinis hipertensi dan payah jantung serta meningkatkan kejadian perdarahan akibat pencegahan agregasi trombosit melalui hambatan aktivitas COX-1. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif.
Pada penderita lansia, perubahan tekanan darah diluar batas yang terkontrol akan menjadi problema bila AINS dikonsumsi secara intermitten (Morgan dkk, 2000). Pengkajian meta-analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000) menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar. Page dan Henry (2000) melaporkan bahwa penggunaan AINS meningkatkan kejadian rawat inap pertama akibat payah jantung pada penderita lansia. Kejadian ini berhubungan dengan dosis dan waktu paruh sediaan AINS yang dikonsumsi.
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
Interaksi AINS dengan obat lain
Terapi polifarmasi selalu dijumpai pada lansia. Risiko interaksi AINS dengan obat-obatan lain atau AINS dengan penyakit penyerta pada penderita lansia disebabkan banyak sediaan obat diberikan untuk mengatasi klinis penyakit kronis yang ada (misalnya hipertensi, diabetes mellitus, tuberculosis, kanker dan sebagainya).
Hipertensi dan rematik adalah dua penyakit yang selalu ditemui bersamaan pada penderita lansia dan kedua keadaan ini sangat membutuhkan obat-obatan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, AINS selalu memberikan interaksi obat yang tidak menguntungkan dengan obat-obat antihipertensi (diuretik, beta blocker, ACE-inhibitor) yang sering diresepkan pada lansia, sehingga pengaturan tekanan darah tidak optimal. Tekanan darah kembali normal setelah AINS tersebut dihentikan pemakaiannya. Oleh karena itu, jika tekanan darah penderita lansia sudah terkontrol dengan sediaan antihipertensi, penambahan AINS dalam terapi yang ada mengharuskan penderita untuk selalu memantau tekanan darahnya.
Bentuk interaksi lain antara gabungan AINS dan antihipertensi dilaporkan oleh peneliti lain. Kurata dkk (1999) melaporkan kejadian sinkope sebagai efek samping pemberian gabungan laxoprofen dan ACE inhibitor imidapril pada nenek tua (85tahun). Akibat gabungan kedua sediaan ini, nenek tersebut mengalami hiperkalemia, diikuti dengan bradikardia dan sinkop. Sedangkan Hay dkk (2002) mendapatkan interaksi COX-2 specific inhibitor dan ACE-inhibitor enalapril berakibat hiperkalemia yang fatal. Davie dkk (2000) mendapatkan bahwa dosis kecil asetosal tetap mampu melawan efek vasodilatasi asam arachidonat.
Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2002) pada tikus menunjukkan bahwa celecoxib dan rofecoxib secara signifikan meningkatkan keparahan efek samping asetosal pada lambung. Kemudian Fiorucci dkk (2003) mengkajinya pada manusia sehat dan membuktikan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan mukosa saluran cerna.
Daftar Pustaka
Breivik K, Barkvoll P, Skovlund E. Combining diclofenac with acetaminophen or acetaminophen-codeine after oral surgery; a randomized, double blind single dose study. Clin Pharmacol Ther 66:625-35,1999.
Caine GJ, Stonelake PS, Lip GY, Kehoe ST. The hypercoagulable state of malignancy: pathogenesis and current debate. Neoplasia. 4(6):465-73,2002.
Chazerain P, Hayem G, Hamza S, Best C, Ziza JM. Four cases of tendinopathy in patients on statin therapy. Joint Bone Spine 68(5):430-3,2001.
Chrischilles EA, Foley DJ, Wallace RB, Lemke JH, Semla TP, Hanlon JT, Glynn RJ, Ostfeld AM, Guralnik JM. Use of medications by persons 65 and over: data from the established populations for epidemiologic studies of the elderly. J Gerontol 47(5):M137-44,1992
Cooper JW. Adverse drug reaction-related hospitalizations of nursing facility patients: a 4-year study. South Med J 92(5):485-90,1999
Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, Gupta S, Kaplan MJ, Catella-Lawson F, Morrow JD, McDonagh KT, Schmaier AH. Thrombosis in patients with connective tissue diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases. Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000
Davie AP, Love MP, McMurray JJ. Even low-dose aspirin inhibits arachidonic acid-induced vasodilation in heart failure. Clin Pharmacol Ther 67(5):530-7,2000.
Davies NM, Anderson KE. Clinical pharmacokinetics of diclofenac. Therapeutic insights and pitfalls. Clin Pharmacokinet. 33(3):184-213,1997.
Davies NM, McLachlan AJ, Day RO, Williams KM. Clinical pharmacokinetics and pharmacodynamics of celecoxib: a selective cyclo-oxygenase-2 inhibitor. Clin Pharmacokinet 38(3):225-42,2000
Davis MP, Srivastava M. Demographics, assessment and management of pain in the elderly. Drugs Aging 20(1):23-57,2003
Fam AG. Gout in the elderly. Clinical presentation and treatment. Drugs Aging 13(3):229-43,1998
Fiorucci S, de Lima OM Jr, Mencarelli A, Palazzetti B, Distrutti E, McKnight W, Dicay M, Ma L, Romano M, Morelli A, Wallace JL. Cyclooxygenase-2-derived lipoxin A4 increases gastric resistance to aspirin-induced damage. Gastroenterology. 123(5):1598-606,2002.
Fiorucci S, Santucci L, Wallace JL, Sardina M, Romano M, del Soldato P, Morelli A. Interaction of a selective cyclooxygenase-2 inhibitor with aspirin and NO-releasing aspirin in the human gastric mucosa. Proc Natl Acad Sci U S A. 100(19):10937-41,2003.
Graves JW, Hunder IA. Worsening of Hypertension by Cyclo-oxygenase-2 Inhibitors. J Clin Hypertens 2(6):396-8,2000
Greenblatt DG, Sellers EM, Shader RI. Drug disposition in old age. N Engl J Med. 306:1081-8,1982.
Gurwitz J H, Avorn J, Bohn R L, Glynn R J, Monane M, Mogun H. Initiation of antihypertensive treatment during nonsteroidal anti-inflammatory drug therapy. JAMA 272:781-6,1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar